KEINDAHAN AJARAN ISLAM PADA SAAT SEDANG BERKUMPUL

6 menit baca
KEINDAHAN AJARAN ISLAM PADA SAAT SEDANG BERKUMPUL
KEINDAHAN AJARAN ISLAM PADA SAAT SEDANG BERKUMPUL

Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ، ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ، وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا، وَتَوَسَّعُوا

“Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia duduk di situ. Akan tetapi hendaklah kalian memberi kelonggaran dan keluasan.” HR. Al-Bukhari (6269) dan Muslim (2177)

Larangan Nabi Muhammad ﷺ ini sangat penting diperhatikan untuk mencegah munculnya rasa sakit hati atau merasa direndahkan oleh yang lain.

[su_spoiler title=”Selanjutnya” style=”fancy” icon=”caret-square”]

Dalam Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah disebutkan,

وذلك حرص منه صلى الله عليه وسلم على صفاء القلوب بين الناس

“Ini bentuk semangatnya Rasulullah ﷺ untuk membersihkan perasaan [ yang tidak baik ] di antara sesama manusia.” (XXVI/110)

  • PELAJARAN ADAB DI HADITS INI

Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Bassam berkata,

:هذا الحديث فيه أدبان من آداب المجالس

الأوَّل: أنَّه لا يحل للرَّجل أنْ يقيم الرجل الآخر من مجلس سبقه إليه قبله، ثمَّ يجلس فيه، فمن سبق إلى مباح، فهو أحق به، و”من سبق إلى ما لم يُسْبَقْ إليه، فهو له” سواءٌ كان المقيم وجيهًا، أو غير وجيه؛ فإنَّ السَّابق أحق بمكانه، سواءٌ أكان في مسجد، أو مجلس، أو حفل، أو غير ذلك.

الثاني: أنَّ المتعين على الحضور أنْ يتفسَّحوا للقادم حتَّى يوجدوا له مكانًا بينهم؛ قال تعالى: {يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ الل المجادلة: ١١.

“Di hadits ini terdapat dua adab ketika sedang berkumpul;

 – Adab pertama, tidak halal seseorang menyuruh orang lain untuk pindah dari tempat duduk yang dia sudah di sana lebih dulu, lalu kemudian [ setelah menyuruh pindah ] dia mengambil alih duduk di tempat itu. Karena orang yang lebih dulu di suatu tempat mubah maka dia paling berhak dengan tempat itu. Sama saja hukumnya, apakah yang menyuruh pindah itu orang yang punya kedudukan atau bukan. Orang yang duluan lebih berhak dengan tempatnya, baik itu di masjid, saat kumpul-kumpul, di acara, dan lain-lain. 

 – Adab kedua, bagi yang telah hadir lebih dulu semestinya untuk melapangkan tempat bagi yang baru datang sehingga ada tempat duduk untuknya. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ

“Hai orang orang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis’ , maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.” QS. Al-Mujadilah: 11 (Taudhih al-Ahkam, VII/295)

Terkait adab kedua ini, Al-Allamah Ibnu Baaz mengatakan,

  : (( ولكنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَعُوا))

ينبغي التفسح والتوسّع، فإذا جاء الأخ والمكان ضيّق ينبغي أن يتضام الناس ويضعوا له مكانا حيث أمكن، هذا من مكارم الأخلاق

“‘Akan tetapi hendaklah kalian memberi kelonggaran dan keluasan’, maka hendaknya memberikan ruang dan keluasan (untuk duduk). Apabila ada seorang saudara yang datang sedangkan tempat sudah sesak hendaknya mereka merapat sebatas yang memungkinkan sehingga bisa ada tempat untuknya. Ini termasuk akhlak yang mulia.” (Syarah Kitab al-Jami’, hlm. 35)

Maka ketika keadaan sudah cukup penuh, bukan akhlak yang baik jika kita acuh begitu saja dengan teman kita yang baru datang. Bahkan semestinya berusaha untuk menyediakan tempat yang memungkinkan untuk dia duduk.

  • FAEDAH :

Menurut sebagian ulama, melapangkan majelis untuk orang yang baru datang ialah wajib. Berdasarkan pendapat ini, berdosa orang yang membiarkannya berdiri padahal masih memungkinkan dia bergeser untuk duduk temannya yang baru datang. Di antara yang memilih pendapat ini ialah Asy-Syaikh Muhammad Ali Adam al-Ityubi dalam Syarah Shahih Muslim, (XXXV/627).

  • HARAM MENYURUH ORANG LAIN PINDAH DARI TEMPAT DUDUKNYA

Menjelaskan hadits di atas, Imam Nawawi mengatakan,

هَذَا النَّهْيُ لِلتَّحْرِيمِ، فَمَنْ سَبَقَ إِلَى مَوْضِعٍ مُبَاحٍ مِنَ الْمَسْجِدِ وَغَيْرِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرَهُ لِصَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهَا، فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ، وَيَحْرُمُ عَلَى غَيْرِهِ إِقَامَتُهُ لِهَذَا الْحَدِيثِ

“Larangan ini menunjukkan bahwa hukum (menyuruh orang lain berdiri dari tempatnya) ialah haram. Orang yang sudah lebih dulu duduk di tempat yang mubah seperti duduk di masjid atau tempat lainnya, pada hari Jum’at atau di hari lainnya, untuk melaksanakan shalat atau untuk aktifitas lainnya; maka ia lebih berhak menempati tempat tersebut dan haram bagi orang lain menyuruhnya pindah dari tempat tersebut berdasarkan hadits ini.” (Al-Minhaj, XIV/160)

  • SELAMA DIA BELUM SELESAI MAKA DIA PALING BERHAK DENGAN TEMPAT ITU

Dalam arti jika dia hanya meninggalkan sementara waktu saja karena ada urusan dan akan kembali lagi setelah itu maka dia masih yang paling berhak dengan tempat itu.

Rasulullah ﷺ bersabda,

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ وَفِي حَدِيثِ أَبِي عَوَانَةَ مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ

“Tempat duduk yang sudah dia tempati lalu dia berdiri untuk suatu keperluan maka dia masih paling berhak dengan tempat itu.” (Transkrip Syarah Riyadhus Shalihin, melalui situs beliau)

Bisa pula ditandai dengan dia meninggalkan barangnya di tempat itu, seperti yang banyak juga kita jumpai di zaman sekarang, maka dia yang masih paling berhak dengan tempat itu, orang lain tidak boleh menempatinya.

Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata,

لكن إذا جرت العادة بأن مثل هذا إذا وضع متاعه في هذا المكان فهو له دائمًا.. فهنا نقول: هو أحق به ما دام متاعُه موجودًا، فإذا نقله زالت أحقيته، والعمل على هذا الآن.

“Jika kebiasaan yang berlaku menetapkan bahwa orang yang meletakkan barangnya di suatu tempat berarti tempat itu tetap sebagai miliknya.. Maka di keadaan ini kita katakan, dia paling berhak dengan tempat itu selama barangnya masih ada dan apabila barangnya dia bawa hilanglah hak duduknya di situ. Dan yang berlaku sekarang ialah demikian.” (Fath Dzil Jalali wal Ikram, XV/39)

  • FAEDAH : HUKUM ‘MENGAPLING’ TEMPAT DI MASJID

Pembahasan ini memang keluar dari inti hadits yang sedang kita pelajari. Tapi karena;
– memiliki kaitan dengan pembahasan sebelumnya,
– dan adanya segelintir orang yang melakukan ini,
Maka nampak perlu bagi kita untuk mengetahui hukumnya.

Sebagian orang ada yang meninggalkan barangnya seperti sejadah atau meja lipatnya di satu tempat yang sudah dia pilih di masjid agar orang tidak ada yang duduk di tempat itu, setelah meletakkan dia pun meninggalkan masjid. Cukup banyak juga terjadi pada hari Jum’at, misalnya.

Terlepas dari hukumnya, perbuatan seperti ini hakikatnya merugikan dirinya sendiri.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

 : ثم إن التحجر فيه مفسدة على المتحجر نفسه، إذ إنه ربما يأتي وقد تمت الصفوف فيستلزم ذلك

.أولا: تخطي رقاب الناس هذه واحدة

.ثانيا : إذا علم أن مكانه متقدم فسوف يتساهل في التقدّم، ويقول: ما دام مكاني مأمونَا فمتى شئت ذهبت، وهذا ضرر عليه، لأنه يفوت عليه أجرًا كثيرا

.ثالثا: أنه يوجب إيغار الصدور على هذا المتحجر، ولذلك نسمع دائماً الشكاوى من الناس بأن فلانًا جاء متأخرًا وتقدم إلى مكانه وما أشبه ذلك

“Perbuatan mengkhususkan tempat lebih dulu memiliki dampak buruk bagi orang yang melakukannya sendiri. Karena terkadang dia baru datang ketika shaf sudah penuh dan itu berkonsekuensi,

(1) dia akan melangkahi pundak pundak orang, ini sudah satu (pelanggaran).
(2) jika dia sudah memiliki tempat maka dia akan malas untuk pergi cepat. Dia berpikir, ‘Selama tempat saya sudah aman, kapan mau pergi baru saya pergi.’ Dan ini merugikan dirinya sendiri. Sebab dia melewatkan pahala yang banyak.
(3) bisa memunculkan kemarahan orang pada yang melakukan perbuatan itu. Oleh karenanya, sering kita mendengar pengaduan orang orang bahwa si fulan datang belakangan tahu-tahu maju ke tempatnya dan semisal ini.” (Fath Dzil Jalali wal Ikram, XV/40)

Adapun secara hukum, perbuatan ini ialah terlarang.

Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin mengatakan,

ومنهم من قال: لا يجوز التحجر، بل المكان لمن سبق، وهذا القول أرجح وأقرب إلى

.الصواب؛ لأنّ الإنسان إنما يتقدّم بنفسه، لا بمنديله وكتابه وما أشبه ذلك

“Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa tidak boleh mengambil tempat lebih dulu, bahkan suatu tempat merupakan hak bagi yang datang duluan. Pendapat ini lebih kuat dan lebih dekat pada kebenaran. Karena seseorang itu dikatakan duluan jika dirinya sendiri yang memang datang, bukan dengan keberadaan sapu tangannya, atau kitabnya, dan seterusnya.” (Fath Dzil Jalali wal Ikram, XV/40)

Ya, benar yang beliau sampaikan. Adapun orang yang hanya meletakkan sejadah, misalnya, datangnya cuma untuk meletakkan saja, bukan datang untuk menunggu shalat. Jadi secara status bukan datang sungguhan.

Sebagai penutup, penting dibedakan antara;
– orang yang meletakkan sejadah lalu langsung pergi, ini yang kita bahas pada poin ini.
– dan orang yang sudah duduk lalu kemudian dia ada udzur, buang hajat misalnya atau apapun itu, dia tinggalkan barangnya atau sejadahnya di tempat itu, untuk kasus ini pembahasannya pada poin sebelum ini. Yaitu hukumnya dia lebih berhak dengan tempat yang dia tinggalkan itu.

  • FAEDAH: MEMPERHATIKAN KEADAAN PADA SAAT DITAWARKAN SESUATU

Ada riwayat tentang Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا قَامَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لَمْ يَجْلِسْ فِيْهِ

“Ialah Ibnu Umar, apabila ada orang yang berdiri mempersilakan tempat duduknya untuk beliau maka beliau tidak duduk di situ.” HR. Al-Bukhari (Al-Adab al-Mufrod, 1153)

Menjelaskan ini, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata,

كل هذا من الورع يخشى أن هذا الذي قام قال خجلا وحياء من ابن عمر ومعلوم أن الذي يهدي إليك أو يعطيك شيئا خجلا وحياء أنك لا تقبل منه لأن هذا كالمكره، ولهذا قال العلماء رحمهم الله يحرم قبول الهدية إذا علمت أنه أهداك حياء أو خجلا. ومن ذلك أيضا إذا مررت ببيت وفيه صاحبه وقال تفضل وأنت تعرف أنه إنما قال ذلك حياء وخجلا فلا تدخل عليه لأن هذا يكون كالمكره

“Ini dilakukan oleh Ibnu Umar karena sikap wara’ [ kehati-hatian dari dosa ]. Beliau khawatir orang itu melakukannya karena malu atau karena tidak enak pada beliau.

Dan telah diketahui bahwasanya jika ada orang yang memberi hadiah atau memberi sesuatu untukmu karena rasa malu atau tidak enak maka jangan kamu menerimanya, karena dia secara status seperti orang yang yang terpaksa.

Oleh karenanya para ulama – rahimahumullah– berkata, ‘Haram bagimu menerima hadiah jika kamu mengetahui bahwa dia memberi hadiah kepadamu karena malu atau tidak enak.’

Termasuk juga, jika kamu melewati suatu rumah lalu penghuninya menawarkan, ‘Mari mampir’, dan kamu tahu bahwa ia mengatakan demikian karena malu dan tidak enak, maka jangan singgah. Karena keadaannya seperti orang yang terpaksa.” (Syarah Riyadhus Shalihin, IV/350-351)

Dan dasar membedakan dia menawarkan karena rasa tidak enak atau memang tulus bisa nampak dari bahasa tubuh atau wajahnya, misalnya. Wallahu a’lam.

— Jalur Masjid Agung @ Kota Raja
— Hari Ahadi [ Pembahasan hadits ke 5 dari Kitab al-Jami’ dari Bulughul Maram ][/su_spoiler]